Home » » Kebebasan Atau Pembungkaman Seniman

Kebebasan Atau Pembungkaman Seniman

Untuk judul, dua kata yang bertolak belakang ataupun dua hal yang saling berkaitan. Tanpa kebebasan tidak mungkin adanya pembungkaman. Entah tepat atau tidak untuk pemberian judul tersebut, jujur saja saat ini, tiba-tiba saja terbesit tentang sesuatu yang menganggu pikiran. Entah dari mana datangnya. Di sini saya bukanlah seseorang yang memahami apa itu sastra apalagi sebagai seorang kritikus sastra. Untuk bisa dikatakan sebagai seniman ataupun budayawan masih teramat jauh.

Kata kebebasan dapat terlontar dengan mudah. Namun, benarkah kebebasan tersebut telah dialami dalam setiap individu. Perjuangan akan nilai kebebas dari bergerombol, menyalurkan aspirasi, sampai dengan kepekaan realitas dan keliaran imajinasi selalu digaungkan. Setiap individu dituntut untuk menyampaikan apa yang ada dibenak. Jikalau ada sesuatu yang dibela tentunya terdapat penekanan, bisa dikatakan yaitu pembungkaman. ”kebebasan” inilah yang memunculkan perjalanan dari kisah Siti Nurbaya hingga kekinian dengan kondisi yang kian tak jelas.

Tentunya anda boleh menginyakan atau menolak, kalau saja penulis berbicara bahwa bangsa ini belumlah bebas. Walupun, mungkin saja,saat ini tak seperti tempo dulu (Siti Nurbaya) bagaimana yang menimpa kepada Pramudia Ananta Toer dimana perlarangan terhadap karyanya dan jua pembakaran, tak hanya itu hampir seluruh hidupnya dihabiskan dipenjara. Pram hanyalah sebagaian seniman yang dibungkam. Selain itu, masih banyak lagi seniman yang dikenal maupun tidak dikenal dan lenyap ditelah oleh kekuasaan.

Petarungan ideologi dapat memberangus kebebasan sastrawan. Dari perdebatan seputar seni untuk rakyat maupun seni untuk seni. Pertarungan pun telah memabawa politikus untuk turut aktif terlibat dalam ranah sastra. Dalam tubuh seniman sendiri, masih mengalami kebimbangan sekaligus mempertanyakan apakah salah jika sastrawan menulis sesuai dengan kehendak hati mereka? Tanpa pernah mempakemkan sastra harus seperti ini, itu atau yang lainnya.

Soedjatmoko dalam bukunya kebudayaan sosialis yang menyingung persoalan tentang kebebesan. Menurutnya bahwa kebebasan memiliki dua aspek yang berbeda, yaitu kebebasan sebagai proses dan kebebasan sebagai kesempatan.

Dalam kebebasan sebagai proses terdapat sesuatu yang akan dituju. perjalanan terciptanya imajinasi hingga terciptanya suatu karya. Penikmat sastra hingga kritikus sastra yang membicaraan perihal sastra merambat dari warung kopi (Warkop) sampai forum-forum diskusi. Dan tak ketinggalan para politikus turut aktif dalam perdebatan sastra yang berujung kepada Undang-undang. Seolah guna memerankan peran suci agar pembaca tak tersesat lalu mereka bersembunyi dibalik norma-norma dengan menanyakan dimana tanggung jawab seorang penulis.

Jika menilik ke pragraf sebelumnya apakah penulis bebas melempiaskan imajinasinya. Kiranya dicukupkan saja persoalan bagaiamana sastra seharusnya dan mau dibawa kemana? Pertarungan antara seni untuk rakyat dan seni untuk seni telah mengalimi metemorfosis dengan segala keruwetan dengan pengkotakakan-kotakan sastrawan hanya milik segelintir orang. Maka tak ada yang perlu disalahkan dalam hal ini. Sebagaimana menyalahkan pilihan sastra itu sendiri (yang berbicara tentang seksualitas) sampai terjebak kepada sastrawangi.

Masih mencoba menjabarkan tentang apa itu kebebasan, setelah tadi mencoba membahas tentang proses itu berlangsung dan terjadi sebuah karya. Lalu ingin ditekankan adalah persoalan kesempatan. Selain kesempatan kepada sang pemuas pembaca. Benarkah mereka diberikan ruang. Untuk hal ini sedikitnya ada kaintanya dengan perihal pasar. Kata ”pasar” yang diidentikan dengan pembeli.

Tentunya juga, memang tak perlu disangkal bahwa pasar merupakan penunjang dari seorang penulis itu sendiri. Tapi, jika pasar telah menjadi ajang bagaimana cara untuk memonopolinya dan tidak memberikan kesempatan kepada yang lain. Pasar dicokokin karena pasar merupakan objek yang menarik. Selera pasar kian hilang tampa adanya pilihan. Walaupun sedikit mempertanyakan kembali apakah masih banyak orang yang membaca sastra, mungkin juga sebagaian mengagap bahwa untuk apa memabaca tumpukan kertas hanya menghabiskan waktu.

Untuk berbicara pasar sendiri Pernah suatu ketika datang seseorang yang mengatakan, yang pada intinya setelah menulis mau apa? Dan aku bertanya kembali kepadanya, lalu ia menjawab setelah ia menulis lalu dijualnya. Jawabab yang terlontar begitu polos, seperti pedagang yang akan menawarkan barang dagangannya. Apakah benar hanya batasan itu, yang akhirnya semua terjebak bagaimana karya itu laku dipasaran dan nilai jual yang tinggi mendapatkan predikat bestseler.

Pilihan adalah kebebasan untuk memilih. Dan kebebasan kian dipertanyakan persoalan mengikuti selera pasar atau pasar yang telah diciptakan. Sampai ada yang menanyakan dimana atau sejauh mana kebebasan itu, sampai menyimpulkan bahwa tak ada kebebasan. Tentunya saja itu teserah kepada siapa yang mendefinisikan dan menilai tataran tentang kebebesan itu sendiri. Yang ingin ditekankan bahwa kebebesan mengenai dua perihal tersebut, apakah cukup ”bebas”. Meskipun perihal tersebut masih mempunyai makna lain apakah memberikan kebebasan bagi orang mencoba bergelut dengan sastra. Yang penulis namakan ruang. Raung yang mempersilahkan seorang untuk meluangkan idenya.

Hanya ingin mempertegas opini ria penulis dengan segala kelemahanya bahwa, ternyata akhirnya bukan saja dia(penguasa) yang telah membungkam ternyata dari sesama jenis karena mereka memaksakan untuk seperti ini, itu. Yang akhirnya mengakibatkan kesempatan terkikis. Bukan hanya waktu yang telah hilang ataupun jua karena tak lagi ada ruang.

Silahkan jawab sendiri dan biarkan semua apa adanya hingga penikmat sastra cukup dengan ngopi dan membiarkan lembaran-lembaran kertas hinggap sehingga waktu tak lagi terdengar tiap putaran detik. Atau benar pula, saatnya berbicara lebih esensi dalam sastra itu sendiri dinama nilai estetika dan biarkan itu menjadi makanan empuk para kritikus sastra bukan para politik sastrawan dengan ideologiyan, maupun jua oleh elit politik yang merasa perlu bertanggung jawab dalam norma.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. vepiTouring... - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger