Home » » Bukan Nano-Nano

Bukan Nano-Nano

Catatan ini hanyalah keisengan. Karena itu, jangan terlalu dianggap serius. Tapi, semoga saja dari catatan iseng ini, dapat memberikan sebuah perenungan. Untuk catatan ini, bermula dari pikiran saya yang datang secara tiba-tiba untuk mengingatkan kepada sebuah ungkapan.

Adapun perihal ungkapan itu sendiri, berupa “Permen manis, asam, asin ramai rasanya.” Sebaris kalimat yang akan membawa pada masa lampau perihal iklan permen, permen yang diberi nama Nano-Nano dengan memiliki rasa yang berbeda-beda berkumpul dalam satu permen.

Seandainya kita mempertanyakan kenapa dalam satu permen terdapat ketiga rasa? Tanyakan saja kepada sang pembuatnya. Tapi, setidaknya sang pembut permen cukup berhasil mengamas dan menjaga perbedaan-perbedaan rasa tersebut untuk selalu berkumpul, meskipun mungkin dalam rasa tersebut ada hal yang bertentangan, semisal kata “manis” dengan “asam.”

Dan tentu saja perbedaan tak hanya melekat dalam diri permen tersebut, bahkan ada yang lebih ramai dari pada permen itu, dan kita beri saja contoh, Indonesia. Entah secara sengaja atau tanpa disengaja bahwa dalam kata Indonesia memiliki perbedaan, coba tengok saja dari bahasa, meskipun masih sama-sama dalam pulau jawa, tapi bahasa telah berbeda-beda.

Dan tak hanya bahasa, perbedaan pun terjadi pada adat, suku, dan agama kita. Maka tak mengherankan beberapa pakar perwakilan dari orang-orang yang mengagap dirinya sebagai intelektual menyebut Indonesia dengan kata ‘multikulturalisme’.

Lalu bagiamana pengemasanya dan penjagaannya? Apakah penjaganya dapat mengemas perbedaan yang menjadi ramai dan dengan pertentangannya dapat menjadi rasa ‘enak’, atau ‘damai’, entalah. Tapi, jika dalam kemasan membuat rasa enak tentunya tak akan pernah terjadi konflik baik antar suku, agama, atau baru-baru ini terjadi bom, dan lain-lainya.

Jika jawaban terasa “kurang enak,” maka biarkan para peracik untuk menciptakan inovasi agar menyajikan perbedaan itu menjadi enak, namun tanpa menghilangkan perbedaan rasa. Dan apabila tetap saja tak enak tentunya ada yang salah, siapa yang salah? Yang paling jelas dan ikut bertanggungjawab adalah mereka yang ikut menjaga racikan Indonesia agar Indonesia terasa ‘enak’ terutama untuk para penikmat yang hidup dalam bangsa Indonesia.

Lantas, kenapa permen bisa? Sayang Indonesia bukanlah permen yang selalu jujur dengan rasa yang dimiliki, dan Nano-nano hanyalah permen yang mengukapan dengan bangganya rasa-rasa yang ada. Dan apabila melihat Indonesia dari kacamata permen tentunya akan terlihat kecil, sebab Indonesia memiliki perbedaan yang begitu luas. Tapi, setidaknya bahwa dalam permen juga bisa menyatukan perbedaan rasa yang saling berbenturan untuk menciptakan rasa enak. Dan apa salahnya kita belajar dari hal-hal yang kecil.

an sekali lagi ditegaskan bahwa Indonesia bukanlah hanya sekadar permen Nano-nano dan berbicara perbedaan yang ada di Indonesia? Sudah seharusnya para peracik menjaga rasa tersebut, sehingga Indonesia tak kehilangan rasa yang sesungguhnya, yakni berbeda-beda. Sebab kehadiran Indonesia ada dikarenakan perbedaan-perbedaan dari suku, agama, bahasa, dan lain-lainya.

Seperti halnya, kata Jawa, atau Sumatera, atau juga kalimantan mereka tak bisa disebut Indonesia, jika mereka bagian dari Indonesia, “iya” benar. Sama halnya dengan Indonesia bukan negara Islam, bukan juga negara Kristen, begitupula dengan Hindu, tapi sebagain masyarakat Indonesia ada yang beragama Islam, atau Kristen, dan begitu juga dengan Hindu. Seperti halnya permen nano-nano yang hanya bisa disebut manis, atau asin, dan juga asam.

Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. vepiTouring... - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger