Home » » Apakah sebatas Momentum?

Apakah sebatas Momentum?

Apa yang membuat ribuan warga Indonesia rela datang hanya untuk mengantri membeli tiket pertandingan final Indonesia versus Malaysia? Mereka datang dengan susah payah untuk mendapatkan sebuah tiket dengan harga yang terus melambung. Di luar lapangan, para penjual aksesoris dan pakaian kebanjiran rezeki.

Terutama, saat kesebelasan memasuki Stadion Gelora Bung Karno (GBK) dan suara gemuruh para suporter yang memadati tribun dengan warna merah. Dan kala nyanyian lagu kebangsaan Indonesia Raya, semua terhanyut menyanyikannya bahkan ada salah satu pemain sampai meneteskan air mata. Bendera merah putih pun berkibar lalu peluit dibunyikan dan para supoter dengan bangga menyanyikan lagu “Garuda di dadaku” karangan Netral sepanjang pertandingan berlangsung.

Momentum pertandingan Piala AFF tersebut mengubah rutinitas menjadi sesuatu yang “wah”. Para pemain Timnas Indonesia seperti sihir yang menghipnotis setiap orang. Tak hanya itu, berbagai media berperan aktif membentuk opini publik dengan berita seputar Timnas. Kesukesan Timnas melaju ke final menjadi buah bibir yang dibicarakan dari segala penjuru. Namun, di luar itu semua apa yang menjadikan pertandingan tersebut sebagai sebuah momentum.


Ada “sesuatu” di luar sana

“Sesuatu” yang asing terlahir di luar sana. Kehadirannya membuat setiap individu membentuk “kita” yang di sini. Terbentuknya kata “kita” merupakan ikatan yang terdiri dari aku dan aku yang lainnya. sehingga membentuk satu ikatan antara aku dan dia yang akan menjadi kita.

Proses meleburnya “aku” menjadi kita yakni bangsa Indonesia dan yang di luar sana adalah Malaysia. Jika F.Budi Hardiman dalam buku “Memahami Negativitas” menguraikan teori tentang “yang lain”. Salah satunya, “yang lain” itu berupa yang ekstrem bahwa mereka berbeda dengan kita, meraka yang berada di kutub sana dan kita di kutub sini.

Maka yang lain di kutub sana berupa Malaysia dan yang di kutub sini adalah (Indonesia), menjadi kita. Kita yang akan bertolak belakang dengan meraka. Pada akhirnya, mereka yang di luar sana akan meleburkan aku-aku yang ada di sini.

Kata “kita” pada mulanya merupakan individu-individu berbeda. Terbentuk oleh yang di luar sana serta membuat meleburnya individu satu dengan individu yang lain. Seperti halnya, aku yang di sini berupa aku yang di Jakarta dan dia yang di luar Jakarta. Aku yang suku dan dia di luar suku. Akhirnya terbentuk kita dengan perbedaan yang tertutup oleh sesuatu yang lebih besar di luar sana dan ia hadir.

Hadirnya ia memunculkan nilai-nilai tentang nasionalisme, Pancasila, serta Bhineka Tunggal Ika dan mulai digaungkan seperti dihidupkan kembali. Lalu dengan bangga kita mengibarkan kembali Bendera Merah Putih. Kita yang meleburkan simbol agama dan menggantikannya dengan simbol bangsa Indonesia.

Hilangnya momentum

Lantas apa yang terjadi saat pertandingan telah usai? Para suporter terasa seperti tersadarkan bahwa momentum ini telah berakhir. Mereka kembali pada rutinitasnya dengan membawa kenangan sendiri.

Meski demikian, media masih memberitakan perjuangan Timnas dalam pertandingan tersebut. Firman Utina tak luput dari kejaran media. Ada yang beranggapan seandainya Firman tak gagal dalam mengeksekusi pinalti, tentu kejadiannya akan berbeda. Namun, dalam pertandingan kali ini Timnas tetap membawa kebanggaan tersendiri.

Terlepas dari pertandingan itu, apakah ada jiwa nasionalis saat semua telah berlalu? Ketika setiap individu kembali pada kehidupan dengan rutinitasnya. Warna merah seakan terhenti berkibar, nyanyian “Garuda di dadaku” seperti tersendat. Ke mana perginya kibaran warna merah putih? Apakah sudah lelah?

Kiranya, semua hanyalah sebatas momentum. Saat hadir peristiwa besar, kita sibuk menyambutnya, jika peristiwa itu berlalu maka terlepas begitu saja. Seperti halnya momentum Hari Kemerdekaan yang jatuh setahun sekali.

Ibarat tak ada pesan yang hendak disampaikan, kekitaan pun luntur begitu saja. Begitu pula dengan peringatan hari yang lain. Momentum besar seperti Hari Pahlawan, Sumpah Pemuda yang lahir dengan kebanggan tersendiri, raib ditelan waktu. Seadainya ada gambar yang disimbolkan itu hanya lahir begitu saja dan hampa.

Ironis memang, ternyata kita masih membutuhkan momentum untuk menjadikan ke-Indonesia-an hadir. Terkadang saat semuanya hadir dan berlalu begitu saja tanpa ada “sesuatu”. Atau mungkin pada dasarnya kita tak mempunyai rasa nasionalis.

Semoga penilaian ini salah dan kita memang terdiri dari individu yang memang telah satu walau tak ada momentum. Ternyata Malaysia hadir sebagai musuh maupun sahabat untuk menjadikan kekitaan. Pada akhirnya, kita masih membutuhkan momentum sebagai hadirnya kekitaan.
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

1 komentar:

  1. demikianlah...tapi ingat, iman saja butuh momentum. kadang yazid, kadang yanqus. selalu naik turun.

    ngapain juga nonton bola terus-terusan di stadion. trims. gw tunggu komentar balik di pamanah rasa.

    BalasHapus

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. vepiTouring... - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger