Home » » “MISKIN”

“MISKIN”

Dalam sinetron-sinetron sering menanyankan tentang kekayaan, hal ini seperti sajian yang selalu disodorkan. Salah satu kisah yang didalam, bagaimana sang anak dengan bangga menceritakan tentang kekayaannya, atau kisah lain dalam serial Islam KTP yang ditanyangkan oleh salah satu sataiun televisi swasta (SCTV) ada orang kaya yang selalu mengejek orang miskin. Ejekannya pun dijadikan sebagai hiburan bagi orang yang megagap dirinya orang yang terlanjur kaya.

Para politikus pun menggunakan kata-kata “miskin” digunakan kampanye, salah satu yang hendak dicapai berupa mengatasi pengaguran, karena pengaguran membuat orang jatuh miskin. Tak hanya itu saja, masyarakat pun berujar mengenai kemiskinan, “yang kaya makin kaya, dan yang miskin makin miskin” dengan suara yang lantang. Kurang lebih begitu kata-kata yang terlontar dalam kontrakan yang terdiri satu petak, dengan ukuran 3x4M.

Kata miskin menjadi kian terkenal dalam segala golongan. Meskipun demikian keadaannya merupakan sesuatu hal yang harus dihindari, karena seperti sebuah kata kutukan. Maka tak seoarang pun berharap untuk jatuh miskin.

Apabila, ada yang mendapatkannya, dengan segera ia akan berusaha untuk melepaskan jerat-jerat tersebut. maka untuk menjauh dari kata tersebut sesorang sebisa mungkin untuk berlari sejauh mungkin agar terhindar. Memang keinginan untuk merubah tak ada yang melarangnya.

Walau tak tahu secara pasti bahwa berapa ukurannya. Hal ini jadi mengingakan pada ucapan guru kala aku duduk di bangku sekolah, bahwa miskin adalah kehidupan yang selalu kekurangan dan kaya adalah yang bercukupan.

Kata kaya dan miskin menjadi terasa abstrak. Namun, untuk memahami ke dua kata tersebut masih terlampau jauh jika memahami seperti orang-orang bijak yang mengagap bahwa kaya dan miskin merupakan keseimbangan.

Karena begitu banyaknya yang jarang memahami dan maka jarang pula orang yang melakukan hal-hal tertentu. Dalam hal ini media lebih sering memberitakan tentang kasus korupsi dan lain-lain. Apakah yang dilakukan agar terhindar dari kata miskin.

Sebagaimana yang diungkapan sang filofof berasal dari Italy yang mengukapan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan sesuatu, memang ungkapan tersebut berbeda konteks dengan ini. Ujaran itu diungkapan dalam dunia politik.

Dari kata itu akhirnya kata miskin menjalar pada rakus, yang berimbas pada miskin hati. miskin hati ini yang menjadikan orang tak segan-segan untuk melakukan sesuatu agar terhindar dari kata miskin. Ada yang mengagap sebagai orang yang tak mempunyai hati nurani.

maka mereka melakukan dengan cara sadis ataupun bersembunyi-bunyi . untuk yang brutal seperti kisah dalam serial “wiro Sableng, pendekar-pendekar lain yang merampok dengan cara brutal, dan sekarang rampokan brutal jarang terdengar, yang sering terdengar sebagaimana yang telah dipaparkan perihal korupsi.

Atas kasus tersebut, orang-orang berdemostran secara besar-besaran untuk menuntut para orang yang miskin hati (hati nurani) yang telah mencuri sebagaian hak orang lain untuk dihukum, hukuman beragam samapai ada yang meminta dihukum mati bagi para koruptor.

Namun kasus-perkasus koruptor tak kunjung reda, bahkan lama-kelamaan lenyap. Media entah berlari kemana dan pada akhirnya menghilang untuk memberitakan peristiwa. Hal inikah yang dimaksud oleh Umberto Eco dengan judul buku lima serpihan moral, salah satunya media. Dari yang kutangkap bahwa media mempunyai tanggungjawab.

Sejenak melepaskan perihal korupsi, karena ada hal lain, dalam hal ini aku sendiri tak mengetahui penyebutan. Sebagaimana yang telah kusakasikan kira-kira satu minggu yang lalu. Tepat selepas sholat magrib, entah mengapa pandanganku tak mau lepas pada seorang ibu yang duduk berderat yang hampir memunuhi bangku halte dekat kampus UIN Jakarta. Tiba-tiba datang seorang anak kecil menghampirinya, lalu merogoh kantong dan menyerahkan uang. Dengan secepat kilat seorang ibu menghitungnya. Dan tiba-tiba seorang perempuan yang duduk di atas motor yang di sampingnya ada stiker yang bertuliskan MIO, sambil memaikan HP terbaru berkata kata “ema”.

Aku tak mau menyebutkan dengan penilaian, aku sendiri takut dengan kata miskin dan lebih menakutkan aku akan bertarung dengain ilusi, aku juga menakutkan bahwa aku merupakan bagian dari itu semua. Dengan kemiskinan dan ilusi akhirnya kita melakukan apapun.
Buntu, 28/1
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website

4 komentar:

  1. masih terkekang oelh masalah utama yaitu ejaan. Seorang penulis, tidak mungkin tulisannya langsung jadi. Tp alangkah baiknya diedit.

    Siapa filosof dari Italy itu? Apa dy gak punya nama... owalah!
    Apa bedanya saya dan aku??? Seperti terlalu punya ego dgn penggunaan kata AKU...

    Komentar ini jgn dianggap subjektif yah... terkadang saya pun blh objektif kan bung... heee... ^_^

    BalasHapus
  2. kata "miskin", selain dipolitisasi kadang dikomersialisasi. acara semacam "tolong", "bedah rumah" dll, sebetulnya mengambil keuntungan dari kata miskin tersebut. entahlah, kadang kaki kita goyah menatap keadaan demikian. dan, miskin itu sendiri seolah tak tersentuh.

    sementara kita juga ngomongin kata itu sambil mengisap sebatang rokok dan segelas kopi pahit. tak bisa berbuat banyak!

    soal ejaan, saya sepakat dengan edelwis. sepertinya saudara nulis sedang terburu-buru. trims...

    salam hangat...

    BalasHapus
  3. terimakasih untuk untuk kedua komentator, saya akan mencoba untuk memperhatikan ejaannya. memang itu yang menjadi masalah bung Abah.

    BalasHapus
  4. semoga ke depannya lebih baik lagi yah bung dede...

    BalasHapus

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. vepiTouring... - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger